Gak Perlu Jauh ke Bandung, Kini RSKP Karawang Buka Layanan TB MDR RO Loh

Karawang, Kutipan-news.co.id – Kasus tuberkulosis (TB) yang resisten terhadap pengobatan antituberkulosis (OAT) semakin meningkat di dunia. Hal ini menjadi ancaman terhadap kontrol TB di dunia.
Cara penularan penyakit TB MDR adalah sama seperti TB Paru pada umumnya melalui percikan dahak (droplet) yang berasal dari penderita TB saat batuk dan bersin.
Bila penderita TB saat batuk dan bersin tanpa menutup mulut, maka kuman mycrobacterium tuberculosis akan tersebar ke udara dan jika ada orang yang berada disekitar penderita bisa tertular kuman mycrobacterium tuberculosis hanya dengan menghirup udara yang mengandung kuman tersebut.
Insidens kasus tuberkulosis multidrug resistant (TB MDR) diantara semua kasus TB baru sebesar 3,5% di tahun 2013. Kasus dengan pengobatan sebelumnya lebih tinggi yaitu sekitar 20,5%. Data World Health Organization (WHO) tahun 2013 memperkirakan jumlah kasus baru TB MDR di dunia sebesar 480.000 kasus dan menyebabkan 210.000 kematian.
Hanya 48% pasien TB MDR yang dilaporkan pengobatannya sukses di tahun 2011. Sebanyak 60% kasus TB MDR di seluruh dunia terjadi di Cina, India, Rusia, Brazil dan Afrika Selatan. Indonesia menempati urutan ke-10 di dunia dengan estimasi 6.800 kasus/tahun. Tuberkulosis multidrug resistant disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (M tb) yang resisten terhadap dua obat antituberkulosis (OAT) yaitu isoniazid (H) dan rifampisin (R).
Penyebab resistensi mungkin dari penyedia pelayanan kesehatan, penyediaan atau kualitas obat tidak adekuat, faktor bakteri atau dari pasien itu sendiri. Pengobatan TB MDR membutuhkan pengobatan jangka panjang dengan OAT lini kedua yang lebih mahal dan efek samping lebih berat. Konversi biakan dahak merupakan alat pemantau indikator keberhasilan untuk pengobatan TB MDR. Pengurangan waktu konversi penting untuk pengendalian infeksi dan mengurangi biaya yang berkaitan dengan langkah- langkah pengendalian infeksi.
Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO) telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2009. Pada tahun tersebut, hanya RS Persahabatan dan RS dr. Soetomo yang menjadi RS rujukan TB resistan obat (TB RO). Dalam perkembangannya, saat ini layanan TB RO sudah tersedia di 34 provinsi di Indonesia.
Setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah kasus TB RO yang ditemukan dan diobati. Namun, seiring dengan pengembangan layanan, terjadi penurunan angka keberhasilan pengobatan, yaitu dari 67,9% pada tahun 2010 menjadi 51,1% pada tahun 2013, dan peningkatan angka loss to follow up (LFU) dari 10,7% (2009) menjadi 28,7% (2013).
Pada tahun 2016, WHO mengeluarkan rekomendasi penggunaan pengobatan jangka pendek 9-11 bulan untuk pasien TB resistan rifampisin (RR) atau MDR yang belum pernah diobati dengan OAT lini kedua, atau pada pasien yang kemungkinan kecil terjadi resistansi atau terbukti tidak resistan terhadap fluorokuinolon dan obat injeksi lini kedua.
Berdasarkan berbagai hasil studi observasional di Bangladesh yang dipublikasikan oleh van Deun et al, angka keberhasilan pengobatan pada pasien yang menggunakan paduan pengobatan jangka pendek jauh lebih tinggi dibandingkan dengan paduan pengobatan konvensional. Angka keberhasilan pengobatan pada kohort 206 pasien yang memulai pengobatan tahun 2005–2007 ialah 87,9%2. Angka keberhasilan pengobatan pada kohort 515 pasien TB MDR yang belum pernah mendapatkan OAT lini kedua ialah 84,4%.
Saat ini, pengobatan TB RO di Indonesia masih menggunakan paduan standar jangka panjang (paduan konvensional) minimal 20 bulan. Hal ini merupakan salah satu penyebab tingginya angka putus berobat (loss to follow up), baik sebelum dan selama pengobatan. Dalam upaya meningkatkan angka keberhasilan pengobatan dan menurunkan angka putus berobat pada pasien TB RO, Program Penanggulangan TB Nasional akan mengimplementasi pengobatan jangka pendek untuk TB RR/MDR. Pasien yang tidak bisa mendapatkan pengobatan jangka pendek, seperti pasien TB pre-/XDR dan pasien dengan kondisi tertentu lainnya akan mendapatkan pengobatan dengan paduan individual.
Manager Marketing Rumah Sakit Khusus Paru (RSKP) Karawang, Febri mengungkapkan Bahwa kini untuk Pelayanan MDR masyarakat Karawang pada umumnya tidak harus bingung dan risau.
“Masyarakat Karawang tidak perlu lagi jauh-jauh harus pergi ke RSHS Bandung maupun RSP Jakarta, RSKP Karawang kini telah memiliki layanan TB MDR / RO,”ulasnya.
Ia juga mengatakan bahwa Pelayanan MDR / RO tersebut tiada lain salah satu targetan pihaknya menuju jenjang RSKP yang lebih baik.
“Untuk program tersebut menjadi target utama pihak kami dalam
pemantapan persiapan akreditasi transformasi menuju RSUD yang maju dan berkembang di Karawang,”pungkasnya.(red)