Kanwil Kemenkum HAM DKI Jakarta Tanggapi Rumor Perlakuan Khusus Untuk Para Pembayar Di Sel

Jakarta, Kutipan-news.co.id – Kepala Kanwil Kemenkum HAM DKI Jakarta, Ibnu Chuldun, memberi tanggapan soal kabar praktik jual-beli sel di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Cipinang. Dia telah menurunkan tim untuk mengecek kabar tersebut.
“Kadivpas menyisir masing-masing blok itu, selain menyisir itu juga melakukan komunikasi, dialog dengan warga binaan yang ada di situ,” kata Ibnu dalam perbincangan, Sabtu (5/2/2022).
Lapas Cipinang memiliki 3 blok yang masing-masing terdiri dari 3 lantai. Dia mengatakan Kadivpas DKI Marselina Budiningsih didampingi Satuan Operasional Kepatuhan Internal (Satops Patnal) Pemasyarakatan DKI Jakarta.
Sidak ini terkait heboh pengakuan napi Lapas Cipinang berinisial WC yang menyebut ada praktik sewa-menyewa sel. WC juga menyebut napi bisa memegang ponsel jika membayar sejumlah uang kepada petugas.
Ibnu menepis pengakuan WC. Pihaknya tak menemukan pengakuan WC.
“Laporan yang saya terima, di 3 blok itu tak ada yang seperti itu. Dan tidak ditemukan yang seperti di foto itu,” kata Ibnu.
Dia mengatakan siap bekerja sama untuk memberantas tindakan tak patut yang dilakukan oknum. Dia meminta informasi tersebut disampaikan kepadanya.
Dia mengatakan Menkumham Yasonna Laoly dan Dirjen Pemasyarakatan Reynhard SP Silitonga sudah mengingatkan bahwa pegawai dan pejabat yang melakukan pelanggaran akan disanksi tegas.
“Kalau ada pegawai yang betul-betul menyewakan HP ke dalam, itu pelanggaran berat. Saya akan tindak tegas sesuai ketentuannya,” ungkapnya.
Ibnu mengatakan bandar narkoba yang juga melakukan praktik jual-beli kamar juga bisa disanksi hingga pemindahan ke Lapas Nusakambangan.
“Kalau ada info A1 siapa napi yang menyewakan atau mendapatkan sewa, apalagi dia bandar, itu laporkan saja, nanti kita proses. Bahkan kita sanksi. Dan tidak menutup kemungkinan yang bersangkutan itu kita pindahkan dari Lapas Cipinang,” jelasnya.
Namun Ibnu kurang yakin terkait kebenaran kabar jual-beli kamar di Lapas Cipinang. Pasalnya, setiap napi yang masuk sudah diberikan nomor sel dan blok untuk dihuni selama menjalani masa pidana.
“Anomalinya, ini napi kan menjalani pidana di dalam lapas. Ketika dia tidak mau bayar sewa, itu apakah dia akan diusir dari lapas? Kan nggak mungkin. Karena pasti dia kan diberi tempat, kamu blok ini, sel ini,” katanya.
Dia juga mengingatkan kepada warga binaan pemasyarakatan untuk tidak memberikan sesuatu kepada petugas lapas. Dia meminta petugas yang nakal untuk dilaporkan.
Sebelumnya, seorang warga binaan pemasyarakatan (WBP) di Lapas Kelas I Cipinang berinisial WC bercerita terkait praktik jual-beli kamar tahanan. Ia bercerita harus membayar sejumlah uang untuk mendapatkan kamar.
“Nanti duitnya diserahkan ke sipir, di sini seperti itu. Kalau untuk tidur di kamar, Rp 5 juta hingga Rp 25 juta per bulan. Biasanya mereka yang dapat kamar itu bandar narkoba besar,” kata WC dilansir dari Antara, Jumat (4/2).
WC mengklaim para tahanan harus membayar tempat untuk tidur karena Lapas Cipinang sudah full oleh napi. Posisi tempat tidur mempengaruhi harga yang harus dibayar.
“Besarnya tergantung tempat tidur yang dibeli. Kalau tidur di lorong dekat pot dengan alas kardus, itu Rp 30 ribu per satu minggu. Istilahnya beli tempat,” ujar WC.
Selain itu, WC mengatakan untuk dapat menyelundupkan telepon seluler para narapidana harus mengeluarkan biaya antara Rp 1,5 sampai Rp 2 juta.
“Harganya bervariasi, antara Rp1,5 sampai Rp 2 juta. Nanti setelah ‘handphone’ masuk juga enggak langsung keluarga yang kasih. Dikasih dulu ke tahanan pendamping (tamping) baru ke napinya. Intinya uang tutup mata petugas,” ujar WC.
Dia mengatakan, pihak Lapas Cipinang menyediakan layanan komunikasi agar narapidana bisa menghubungi pihak keluarga, tapi tidak setiap hari diberikan dan waktunya dibatasi.
Biasanya, para napi berkomunikasi dengan keluarganya untuk sekedar memberi kabar hingga meminta kiriman uang agar bisa memenuhi kebutuhan hidup selama di Lapas.
“Di sini kan untuk beli rokok dan sebagainya butuh uang. Kalau untuk yang enggak punya ‘handphone’ juga ada bantuan dari petugas. Jadi kita pinjam ‘handphone’, setiap telepon bayar,” kata WC.
Dia mengatakan, tarif yang dipatok oleh oknum petugas untuk meminjamkan telepon seluler ke WBP bervariasi, mulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per satu kali telepon dengan waktu penggunaan dibatasi.
Menurutnya, mayoritas WBP pemilik telepon seluler selundupan merupakan bandar narkoba dengan masa tahanannya di atas lima tahun. Para bandar itu butuh telepon untuk menjalankan bisnisnya dari dalam.
“Kalau bandar itu kan mereka butuh ‘handphone’ untuk bisnisnya. Sebenarnya ini rahasia umum untuk orang yang pernah dipenjara. Apalagi untuk bandar narkoba besar,” tutur WC.
(red)