Kelestarian Gunung Sanggabuana Terancam Akibat Mitos Buang Pakaian Dalam Semakin Marak

0
WhatsApp Image 2022-07-29 at 16.33.34

Foto Istimewa Dok / Gunung Sanggabuana / Kutipan-News.co.id

Karawang, Kutipan-news.co.id – Mitos buang celana dalam dan kutang di Gunung Sanggabuana jelang malam satu suro jadi sorotan. Mitos ini ternyata sudah lama terdengar di kalangan warga sekitar.

Fenomena buang celana dan kutang bagi warga di wilayah pegunungan Sanggabuana sudah tidak asing terdengar. Hal itu seolah hal biasa yang terjadi dan bukan hanya setiap tahun, melainkan selalu dilakukan pada malam Jum’at kliwon.

Dari penelusuran Awak media, ritual buang celana dan kutang merupakan ritual yang dilakukan sejak dulu. Salah satu pegiat budaya Karawang, Nace Permana mengatakan sebelum dirinya lahir di wilayah Sanggabuana ritual buang celana dalam dan kutang sudah ada.

“Jauh sebelum saya lahir ritual itu sudah ada, dan itu dilakukan oleh orang-orang yang mempercayai mitos buang sial dengan buang pakaian usai ziarah ke makom yang ada di Sanggabuana,” kata Nace saat diwawancarai, Jum’at (29/7/2022).

Namun dikatakannya, ritual itu tidak seramai dilakukan saat ini. Bahkan menurutnya, dulu sampai pakaian yang dikenakan juga turut dibuang.

“Dulu itu biasanya orang-orang tertentu dan tidak banyak, dan bukan hanya celana dalam dan kutang biasanya juga pakaian yang dia itu dibuang,” ucap dia.

Soal siapa yang jadi pencetus ritual itu, ia menyebut ritual itu datang dengan sendirinya dari peziarah yang datang ke Sanggabuana. Menurutnya, peziarah meyakini membuang celana dalam dan kutang bisa membuang sial.

“Tidak tau siapa yang awal mula membawa ritual itu, yang pasti hal itu dilakukan oleh peziarah yang datang ke Sanggabuana, dan meyakini ketika buang pakaian usai mandi di pancuran mata air akan membuang sial dan kembali suci,” katanya.

Kegiatan ritual itu sendiri dikatakannya tidak dilakukan saat hari-hari khusus. Pada hari-hari biasa juga mereka kerap melakukan hal tersebut.

“Ritual itu dilakukan setiap ada peziarah tidak juga saat malam suro ataupun hari-hari keramat, pokoknya bisa ditemukan hari-hari biasa juga, namun biasanya peziarah datang itu malam Jum’at kliwon,” ucapnya.

Di sisi lain, ritual itu juga turut dimanfaatkan warga untuk meraup cuan. Beberapa warga bekerja dengan menjadi pendamping atau guide.

“Ramainya peziarah yang datang juga sebenarnya membawa hal positif bagi ekonomi warga, jadi warung ramai yang jajan dan terkadang jadi pengantar atau guide ke pancuran dan dapat upah,” terangnya.

Sementara itu, ritual itu ditanggapi oleh pegiat alam Sanggabuana. Pembina Sanggabuana Conservation Foundation (SCF) Bernarld T Wahyu mengungkapkan ritual buang celana dalam dan kutang di Gunung Sanggabuana oleh sebagian orang dimanfaatkan untuk meraup keuntungan dan mengancam kelestarian lingkungan.

“Ritual buang celana dalam dan kutang itu semakin menjadi-jadi bahkan kuncen-kuncen baru bermunculan dan mencari pengunjung yang akan ritual demi mendapatkan upah, dan tentunya ritual itu malah jadi mengancam kelestarian lingkungan sekitarnya,” kata Bernarld saat dihubungi melalui telepon selular.

Dari hasil penelusuran timnya juga diketahui bahwa kuncen menarif ritual tersebut di 4 mata air yang dipakai untuk ritual, yakni Pancuran Mas, Pancuran Kejayaan, Pancuran Kahuripan, dan Pancuran Sumur Tujuh.

Sedangkan makamnya ada 14, beberapa diberi nama Makam Eyang Haji Ganda Mandir, Taji Malela, Kyai Bagasworo, Ibu Ratu Galuh, Eyang Abdul Kasep, Eyang Sapujagat, Eyang Langlang Buana, Eyang Jagapati, dan Eyang Cakrabuana.

“Dari 4 mata air dan 14 makam itu dipakai ritual buang sial. Bahkan setiap ritual dikenakan tarif perorang yang dipandu kuncen itu sekitar Rp 250 ribu, buat memandu ritual dan ubo rampenya. Ada juga yang gratis tapi hanya sekedar mandi di pancuran lalu buang celana dalam dan pakaian doang lalu balik,” tandasnya.(red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!