Karawang, kutipan-news.co.id – Wacana upah kerja per jam seperti yang sudah di terapkan di negara-negara industri maju di dunia hingga kini masih menuai pro dan kontra dikalangan kelas elit pejabat dan para serikat pekerja di Jakarta.
Dengan harapan jaminan upah tidak lagi menggunakan UMK, sepertinya wacana undang-undang ketenagakerjaan yang akan diatur oleh pemerintah Indonesia melalui Cipta Lapangan Kerja ‘Omnibus Law’ lebih condong ke arah memancing investasi untuk menarik perusahaan-perusahaan luar masuk ke Indonesia.
Isu undangan-undang Omnibus Law dengan menerapkan upah jam kerja per jam hingga kini sudah merambah ke Kabupaten Pangkal Perjuangan, pasalnya Kepala Dinas Tenagakerja dan Transmigrasi Karawang H. Ahmad Suroto membenarkan atas issu Omnibus Law dirinya sudah mendapatkan kabar dari para serikat pekerja akan mengadakan aksi unjuk rasa pada tanggal 16 Januari 2020 mendatang.
“Iya saya sudah mendapatkan kabar 16 Januari 2020 nanti kemungkinan seluruh Kabupaten/kota yang ada di Indonesia akan melakukan aksi unjuk rasa menolak UU Omnibus Law tersebut,”ungkap dia, mengatakan kepada kutipan-news.co.id, Rabu (1/1/20).
Dikatakannya wacana yang di isukan dan isi UU nya juga dirinya mengaku belum mengetahuinya, Omnibus Law adalah program pemerintah untuk mereduksi semua UU yang berkaitan dengan investasi usaha kecil atau pun menengah yang akan di satukan dalam aturan ketenagakerjaan.
“Itukan baru akan menjadi program pemerintah yang tentunya nanti akan melibat persetujuan dari DPR RI,”ulasnya.
Dipaparkannya, salah satu yang menjadi keberatan dari mereka (Serikat Pekerja) upah itu akan dihitung berdasarkan jam. Tentunya bagi perusahaan itu akan menguntungkan, karena upah itu akan dihitung, namun jika tidak masuk kerja berarti tidak di gaji.
“Misalnya produktivitasnya hanya 8 jam, jika ada (over time) kerja lembur, kemungkinan itu tetap di bayarkan, sedangkan kerugiannya bagi pekerja adalah sistem UMK plet per-bulanya akan berubah.
Dan sistem yang di pakai ini pastinya akan mengurangi pendapatan upah mereka, jika tidak bekerja produktif, misalnya dalam satu minggu mereka bekerja 40 jam berarti normal, namun jika mereka sakit itu ga di hitung atau ga dapat upah,”paparnya.
Dijelaskanya dirinya juga mengaku belum ada obrolan dari para pihak pengusaha di kawasan ataupun non kawasan, penolakan dari serikat pekerja pastinya sudah jelas. Sedangkan, bagi mereka pihak perusahaan itu mungkin menjadi referensi yang sangat menguntungkan untuk meningkatkan produktivitasnya.
“Jika satu orang bisa menghasilkan lebih dari satu output nya, mungkin produktivitas nya akan tinggi, dan tentunya perusahaan akan lebih melihat keuntungannya”timpalnya.
Lebih lanjut Ia juga mengatakan pihaknya juga belum bisa mensosialisasi UU tersebut, karena hingga kini UU tersebut belum di sahkan oleh Pemerintah pusat. Sebagai pelaksana regulator UU pihaknya hanya bisa melaksanakan apa yang diperintahkan oleh UU, jika memang UU itu nanti di sah kan oleh pemerintah pusat.
“Pemerintah kabupaten pungsinya hanya mendorong dan menyampaikan saja, karena kita pungsinya buka penentu kebijakan.
Tentunya dalam hal ini aspirasi dari teman-temen serikat pekerja nanti akan kita lanjutkan ke tahap yang lebih tinggi, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat,”bebernya.
Proses UU tersebut hingga kini sudah masuk ke tahap legislatif atau seperti apa dirinya mengaku belum mengetahui pasti, tapi untuk rapat pembahasan tersebut sebelumnya sudah dilakukan, mungkin UUnya akan masuk di awal tahun ini.
“Yang namanya UU biasanya akan di berlakukan sama, mau zona perusahaan kecil, menengah ataupun besar mereka harus mengikutinya,”ujarnya.
Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara yang menerapkan 40 jam kerja dalam seminggu atau 5 hari kerja.
Ketentuan tersebut tertuang di UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Jika dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN jam kerja Indonesia memang termasuk rendah.
“Satu hari pekerja bekerna normal 8 jam, kali 5 hari kerja, jadi 40 jam, kali 4 Minggu dalam satu bulan, jadi 32 Jam, tinggal di bagi dengan besaran UMK saja.
Hingga kini saya juga tidak tahu aturan ini berlaku pada karayawan kontrak atau karyawan tetap, atau berlaku buat semuanya, pasalnya ini baru wacana pihak pemerintah pusat dan aturan UU hingga kini belum resmi di umumkan,”pungkasnya (red).