Jakarta, kutipan-news.co.id – Peristiwa yang dialami 11 anak di Tulungagung sangat mengenaskan. Kebutuhan anak yang harusnya dapat dipenuhi para pelindungnya, jatuh kepada pedagang kopi yang tidak bertanggung jawab.
Tersiar kabar pelaku dianggap menghilang, polisi pun terus melaksanakan pencarian besar – besaran. Sayangnya 2 Minggu dicari Polisi, pelaku berinisial H bisa tinggal berpindah pindah. Salah satunya ditempat MI juragan toko kopinya, yang akhirnya tertangkap.
Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak Jasra Putra mengatakan sikap permisif dalam melihat kasus kekerasan dan kejahatan seksual masih menjadi momok yang berat di masyarakat.
“Untuk itu deteksi dini RT, RW sangat penting secara administratif memahami warga yang tinggal di sekitarnya. Tentu dengan tanpa menstigma, tetapi menjalankan mekanisme pencegahan dan pengawasan secara administratif,”ungkapnya.
Ia juga mengatakan hal tersebut
tentunya akan menimbulkan hukuman yang berat yang akan menanti pelaku. Belajar dari kasus Reynhard bagaimana para predator melakukan kejahatannya.
“Karena bila tidak ditangani dengan baik, secara holistik dan integratif. Dampaknya akan menghantui sepanjang hidup para korban, bahkan korban bisa terjebak menjadi pelaku bila tidak tertangani dengan baik.
Artinya penting bagi APH memastikan rehabilitasi bagi para korban. Kalau tidak, maka pelaksanaan UU SPPA bisa gagal menangkap sebabnya secara holistik,”bebernya.
Dirinya berharap pihak keluarga korban tidak khawatir untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Semakin cepat mengatasinya, maka semakin baik untuk perkembangan psikologis anak anak korban. Pendampingan berkelanjutan penting diberikan ke keluarga.
“KPAI menyarankan semua yang terdeteksi sebagai pelaku kekerasan atau kejahatan seksual yang sudah masuk kepolisian sudah seharusnya wajib lapor, lembaga lembaga terkait bisa diajak kerjasama kepolisian untuk wajib lapor, pengawasan dan pencegahan ini.
Karena tidak bisa dihindari ada tuntutan restitusi dalam mekanisme hukum, yaitu pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan, baik kerugian materil dan atau imateriil,”katanya.
Dikatakannya hal ini bisa menjadi
catatan penting dalam mekanisme wajib lapor, selain itu harus disertai penanganan petugas yang punya kapasitas dan profesionalitas yang baik dan khusus. Agar ada mekanisme pengawasan dan pencegahan.
Sedangkan, untuk mekanisme pengamanan chip bisa diberikan, apalagi aturannya sudah ada. Karena hal tersebut bisa jadi mendapatkan hukuman penjara, jika perbuatan itu terulang di tempat lain.
“Dari pelaku H kepolisian bisa mengembangkan kasusnya, seperti dimana saja pelaku pernah tinggal, tinggal dimana saja selama pelarian, artinya bisa jadi korbannya lebih banyak. Kenapa? Karena penting korban dideteksi dan tertangani segera.
Padahal, bila tidak ditangani dengan baik, secara holistik dan integratif. Dampaknya akan menghantui sepanjang hidup para korban, bahkan korban bisa terjebak menjadi pelaku bila tidak tertangani dengan baik. Belajar juga dari kasus Reynhard,”paparnya.
Dijelaskannya, kondisi anak yang terpapar LBGT baik sebagai korban maupun pelaku dalam data aduan KPAI dari tahun 2016-2019 sebanyak 126 kasus.
Namun, dirinya juga sering dapat laporan, dari keluarga keluarga yang berkonsultasi melalui hotline hotline telepon pengaduan anak tentang anak anak yang dikhawatirkan tumbuh kembangnya karena kondisi tersebut. Terutama meningkatnya ragam, motif, model kejahatan, kekerasan yang melibatkan anak dan perlakuan salah kepada anak, termasuk di jejaring medsos.
“Begitu juga dialami di layanan kesehatan, pendidikan dan para praktisi psikolog. Saya menyarankan Negara memberikan kapasitas para petugasnya dalam penanganan.
Begitupun saran saran Presiden untuk penanganan kekerasan melalui data SIMFONI PPA saat Ratas kemarin bersama para Menteri. Akan dilanjutkan KPAI dengan memohon JR ke MK, yang akan disidangkan perdana Rabu nanti di MK.
Karena ini mandat Presiden yang meyakini snowball effect, kasus kasus seperti ini hanya dipermukaan yang muncul, yang sebenarnya dibawah sangat banyak. Artinya Presiden ingin ada solusi penanganan sistemik dari kasus kasus seperti ini,”tambahnya.
Untuk itu KPAI sedang berupaya melakukan JR Undang Undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dengan JR ini KPAI ingin memastikan mekanisme pengawasan dan pencegahan kasus kasus seperti ini, referralnya berjalan sampai tuntas di tingkat bawah.
Dengan kewajiban membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD). Kita sudah tidak bisa menangani dengan cara cara dulu dan keterbatasan yang ada sekarang.
“Saya kira peran serta masyarakat dan lembaga cukup besar selama ini, hanya Negara perlu meningkatkan kewenangan dalam melindungi kerja kerja mereka.
Untuk itu fungsi KPAI bisa diperluas sampai tingkat bawah, dengan membentuk KPAD, agar ada yang berwenang melakukan pengawasan di daerah dalam memastikan penyelenggaraan perlindungan anak berjalan secara efektif. Kemudian memastikan jangan sampai sejengkal tanah pun di NKRI ini, luput dari pengawasan perlindungan anak,”Pungkasnya (red).