Jakarta, kutipan-news.co.id – Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra menyampaikan sangat prihatin terhadap kejadian maraknya penomena bullying antar pelajar yang saat ini marak terjadi di Indonesia.
Disampaikan Jasra, Kisah siswa yang jarinya harus diamputasi, kemudian siswa yang ditemukan meninggal di gorong gorong sekolah, serta siswa yang ditendang meninggal menjadi gambaran ekstrim fatal dari intimidasi bullying fisik dan psikis yang dilakukan pelajar kepada teman temannya di Februari 2020 ini.
“Fenomena kekerasan adalah fenomena anak yang terbiasa menyaksikan cara kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Artinya mereka tidak pernah diajarkan cara menyelesaikan masalah dengan baik. Bahkan memandang kekerasan sebagai cara penyelesaian,”ungkap Jasra melalui pesan releasenya kepada kutipan-news.co.id, Jum’at (7/2/2020).
Jasra juga menyampaikan bahwa
luka fisik bisa dicari obatnya, namun luka batin sangat tidak mudah dicari obatnya. Bahkan tidak kelihatan. Namun setelah peristiwa terjadi, kita mulai dapat mengukur apa yang terjadi sebelumnya kepada anak, sehingga menjadi pelaku bullying.
Oleh karena itu semangat Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam melihat anak anak yang melakukan kejahatan di mata hukum bukan sebagai subyek hukum, melainkan pasti ada penyebab penyertanya tersebut.
“Selain itu, pasal 9 Undang Undamg nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak dalam ayat (1a) menyatakan, Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
Saat ini untuk fenomena bullying, sudah menjadi gangguan pertumbuhan dan Konsentrasi anak berada pada tahap yang sangat mengkhawatirkan,”ulasnya.
KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun dari 2011 sampai 2019 ada 37.381 pengaduan. Untuk Bullying baik di pendidikan maupun sosial media mencapai 2.473 laporan. Yang trendnya terus meningkat, Data pengaduan anak kepada KPAI bagai fenomena gunung es. Sama seperti pernyataan Presiden pada ratas (9/1/2020) melalui Data SIMFONI PPA.
Bahkan Januari sampai Februari kita terus setiap hari membaca berita dan menonton fenomena kekerasan anak. Tentunya ini sangat disadari dan menjadi keprihatinan bersama.
“Kalau melihat skala dampak yang disebabkan dari 3 peristiwa diatas, memperlihatkan gangguan perilaku yang dialami anak. Gangguan perilaku tersebut perlu diantisipasi sejak awal.
Meski secara fisik dan daya belajar anak baik bahkan memiliki prestasi. Namun ketika menghadapi realitas, anak anak tidak siap. Sehingga terjadi gejolak yang menyebabkan pelemahan mental yang dapat bereaksi agresif seperti bullying. Umumnya bullying adalah perbuatan berulang ulang yang dilakukan anak,”terang Jasra.
Dipaparkan Jasra, Pemicu akan hal tersebut sangat banyak, karena kontrol sosial masyarakat yang berubah lebih agresif dan cepat, sangat mudah ditiru oleh anak. Begitupun represif yang berulang ulang.
Seperti tontonan kekerasan, dampak negatif gawai, penghakiman media sosial. Dan itu kisah yang berulang, karena bisa diputar balik kapan saja oleh anak, tidak ada batasan untuk anak anak mengkonsumsinya kembali
“Sayangnya kondisi yang mengganggu anak tersebut, tidak banyak penyaringannya bila terjadi di sosial media, keluarga, sekoolah dan lingkungan,”tandasnya (joe/red)